Pandemi Covid-19 Indonesia yang telah mencapai 1,27 juta kasus dan semakin meningkat dengan rata-rata kasus harian sebanyak +8000 kasus membuat segala lapisan masyarakat gencar mencari cara agar terbebas dari cengkraman pandemi. Pada akhir 2020, pemerintah mengambil tindakan dengan membeli sebanyak total 3 juta vaksin sinovac dari Cina dan mendistribusikan sejak Januari 2021 dengan harapan dapat mencapai target herd immunity dan menekan angka penyebaran virus. Namun, tindakan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa dan memaksa membuat masyarakat ragu dengan sistem vaksinasi yang dicanangkan pemerintah. Lalu apakah benar langkah pemerintah dalam vaksinasi “memaksa” ini?
Sebagai negara yang mempunyai semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tentu saja memiliki keberagaman yang banyak, termasuk keberagaman dalam penerimaan vaksinasi covid-19. Dalam survei penerimaaan yang dilakukan oleh KEMENKES, UNICEF, ITAGI, dan WHO pada 115.000 responden yang tersebar di Indonesia menunjukkan bahwa 65% masyarakat menerima, 8% menolak dan 27% masih ragu-ragu dengan rencana pemerintah dalam pendistribusian vaksin. Dari masyarakat yang menolak kemudian dibagi menjadi beberapa kategori alasan penolakan, dan hasilnya adalah 30% ragu pada keamanan vaksin, 22% ragu terhadap efektivitas vaksin, 13% tidak percaya dengan vaksin, 12% khawatir dan takut terhadap efektivitas vaksin, dan 8% menolak karena alasan agama. Survei tersebut juga menjelaskan ketidakpercayaan timbul terhadap masyarakat dengan mengatakan bahwa corona hanya propaganda yang sengaja menebar ketakutan melalui media hanya untuk keuntungan sepihak; untuk alasan ketakutan timbul akibat trauma pada imunisasi sebelum dan keraguan kandungan vaksin; sedangkan untuk alasan keagamaan menunjukkan bahwa agama islam adalah agama dengan persentase penolakan tertinggi dibanding agama lain. Lembaga lain yang melakukan survei terhadap penerimaan vaksin adalah startup di bidang teknologi kesehatan, SehatQ, mengkategorikan alasan penolakan vaksin ke dalam empat bidang yaitu 66% menolak dengan alasan keamanan vaksin, 19% khawatir dengan efek samping, 8% meyakini alternatif lain selain vaksin, dan 6% adalah alasan keagamaan.
Seakan-akan menutup mata dan telinga terkait keberagaman tingkat kepercayaan masyarakatnya, pemerintah Indonesia tetap tegas untuk mencapai target herd immunity dimana 70% masyarakat wajib mendapatkan vaksin untuk menurunkan angka penularan, yang berarti 189 juta penduduk harus melaksanakan vaksinasi Covid-19. Dalam mencapai target tersebut Kepala Negara Indonesia mengeluarkan putusan terbaru terkait sanksi bagi masyarakat yang menolak untuk vaksin. Dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi, mengenai sanksi tertuang di pasal 13 A ayat 4 bertuliskan bahwa setiap orang yang ditargetkan menjadi sasaran vaksin Covid-19 namun menolak untuk melakukan vaksinasi maka dapat dikenakan sanksi penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda. Putusan tersebut diteruskan sebagai dasar Gubernur DKI Jakarta untuk merevisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2020 tentang penanggulangan Covid-19 dengan menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menolak dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19 dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5 juta.
Menanggapi tindakan pemerintah mengenai penerapan sanksi serta melihat hasil survei penerimaan yang dilakukan oleh beberapa lembaga dimana masih terdapat penolakan dengan alasan kekhawatiran, alasan agama, alasan keamanan dan dampak setelah vaksinasi maka sungguh disayangkan apabila putusan pemerintah tersebut diterapkan. Alih-alih membuat masyarakat patuh, tindakan tersebut membuat masyarakat semakin resah dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat epidemiolog pada wawancara dengan BBC News Indonesia, Dicky Budiman dari Griffith University Australia, yang menuturkan bahwa sistem sanksi membuat masyarakat merasa terpaksa dan justru cara tersebut tidak akan berhasil dengan melihat hasil kajian ilmiah dan sejarah pandemi dunia. Maka alangkah baiknya apabila pemerintah memperbaiki dan memantapkan sistem terlebih dahulu sebelum menerapkan sanksi kepada masyarakat. Beberapa sistem yang perlu diperbaiki diantaranya adalah sistem komunikasi dan penyebaran informasi tanpa melebih-lebihkan disertai transparansi data serta memilih platform penyebaran informasi yang dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat misalkan menyebarkan melalui whatsApp; memberikan edukasi mengenai vaksin secara menyeluruh dan menerapkan pendistribusian vaksin covid-19 yang tidak memaksa.
Sumber:
Pakar soal Sanksi Pidana bagi Penolak Vaksin: Tafsir Lebay. CNN Indonesia
Penolak Vaksin Covid-19 Bisa Kena Sanksi, Ini Kata Komnas HAM. Kompas.com
Penolak vaksin Covid-19 kena sanksi, epidemiolog: ‘Pemaksaan tidak akan berhasil’. BBC News Indonesia
Survei: Ini Empat Alasan Orang Tolak Divaksinasi Covid-19. BeritaSatu.com
Survei Penerimaan Vaksin COVID-19 di Indonesia. Kementerian Kesehatan, ITAGI, UNICEF, dan WHO