Permasalahan terkait sampah makanan menjadi perdebatan dalam ranah global. Masalah tersebut dapat memengaruhi ketahanan pangan, gizi, dan sistem pangan berkelanjutan. Sampah makanan yang tidak dikelola dengan baik akan memberikan dampak negatif pada lingkungan. Sampah makanan tidak hanya berasal dari makanan yang siap dimakan (food waste), tetapi juga berasal dari bahan pangan mentah yang tidak bisa diolah sehingga dibuang begitu saja (food loss). Setiap tahunnya, sekitar 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi, terbuang secara percuma. Hal tersebut dapat timbul dari berbagai tahapan dalam rantai pasokan makanan yaitu produksi pertanian, penanganan pasca-panen dan penyimpan, pemrosesan, distribusi, dan konsumsi. Pada negara dengan pendapatan menengah ke atas, sampah makanan yang dihasilkan biasanya berasal dari tahapan distribusi dan konsumsi sedangkan pada negara berpendapatan rendah berasal dari tahap produksi hingga pemrosesan. [1].
Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan pendapatan menengah ke atas, menjadi negara kedua di dunia yang menghasilkan sampah makanan terbesar setelah Arab Saudi. Sampah makanan di Indonesia dapat mencapai 1,3 juta ton dan jika dirata-rata maka setiap orangnya menyumbang sekitar 300 kg sampah makanan setiap tahunnya. [2] Sampah makanan tersebut banyak berasal dari rumah tangga dan restoran. Berdasarkan sebuah studi pada 34 rumah tangga/restoran di Jabodetabek dikatakan bahwa sampah makanan dari rumah tangga mencapai 113 kg/tahun sedangkan sampah makanan dari restoran mencapai 738,43 ton. Dari hasil studi tersebut juga ditemukan bahwa bahan makanan yang paling banyak terbuang adalah sayur-sayuran dan beras. [3] Hal tersebut sangat disayangkan karena masih ada 22 juta orang Indonesia yang kelaparan dan dengan pengelolaan sisa makanan yang baik, jumlah sampah makanan tersebut dapat cukup untuk dikonsumsi oleh 28 juta orang. [4]
Saat kita membuang makanan, secara tidak langsung kita juga menyia-nyiakan sumber daya yang digunakan dalam membuat makanan itu seperti air, energi, dan tenaga kerja. Hal itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi ekonomi karena berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi makanan. Selain itu, sampah makanan juga memiliki efek terhadap lingkungan. Hal ini dapat diketahui dari jejak karbonnya yaitu jumlah gas rumah kaca yang diemisikan selama proses produksi hingga pembuangan makanan. Proses produksi makanan akan menghasilkan gas rumah kaca dan saat makanan membusuk di tempat pembuangan sampah akan menghasilkan gas metana (CH4) yang berpotensi meningkatkan pemanasan global 23 kali lebih tinggi dibandingkan karbon dioksida. Jika dirata-rata, sampah makanan menghasilkan jejak karbon sebesar 4,4 GtCO2 ekuivalen atau sekitar 8% dari total emisi gas rumah kaca antropogenik pertahunnya. [1]
Untuk mencegah adanya sampah makanan, perlu adanya peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait permasalahan yang dapat ditimbulkan. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan kampanye. Di Inggris, terdapat kampanye “Food Love Hate” dan berhasil menurunkan sampah makanan sebesar 14% pada 6 bulan pertama peluncurannya. [5] Di Indonesia sendiri terdapat kampanye yang mengajak masyarakat untuk tidak menyisakan makanan yang disebut “Bijak, Bagi, Bungkus”. Kampanye yang dilakukan di Depot Slamet, Surabaya tersebut dapat dikatakan efektif karena membuat konsumen tidak lagi menyisakan makanannya. [6]
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tingginya sampah makanan adalah dengan memanfaatkan sampah makanan sebagai pakan ternak. Sampah makanan yang digunakan adalah yang sudah tidak layak dikonsumsi oleh manusia namun masih layak dikonsumsi hewan dan harus terhindar dari kontaminasi bakteri. Contoh bahan makanan tersebut antara lain daging, sayur, buah, dan roti. Pemanfaatan sampah makanan sebagai pakan hewan sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dan terbukti dapat memberikan hasil yang baik. Terlihat dari sebuah restoran di Amerika yang mengalihkan sampah makanan sejumlah 14.000 ton ke peternakan lokal untuk pakan babi dan dengan pemanfaatan tersebut dapat menghemat biaya sekitar 6000–8000 dolar Amerika. [7] Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan berkaitan dengan masalah sampah makanan baik dari segi pencegahan maupun penanganan. Namun perlu adanya kesadaran dari diri masing-masing individu untuk melakukan hal-hal tersebut sehingga diharapkan dapat mampu menurunkan jumlah sampah makanan nasional hingga dunia.
Referensi:
- FAO. Food loss and waste and the right to adequate food: making the connection. Rome. 2018.
- Economist Intelligent Unit. Food Sustainable Index. 2018. https://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste/ [Diakses pada 17 Februari 2021].
- Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2019. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2019.
- Badan Pusat Statistik. Statistik 70th Indonesia Merdeka. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2015.
- Jain S, Newman D, Cepeda-Márquex R, Zeller K. Global Food Waste Management Full Repot. World Biogas Association. 2018: 143.
- Angkawijaya J, Hartanto D D, dan Muljosumrto, C. Perancangan Kampanye Sosial “Bijak, Bagi, Bungkus (BIBABU)”. Jurnal DKV Adiwarna. 2015; 1(6): 14.
- Truong L, Morash D, Liu Y, dan King A. Food waste in animal feed with a focus on use for broilers. International Journal of Recycling of Organic Waste in Agriculture. 2018; 8(4): 417–429.