Sampai saat ini stunting masih menjadi perhatian besar bagi negara kita tercinta ini. Sejak tahun 2010 sampai 2021 kebijakan stunting masih terus dijalankan dan menjadi perhatian khusus untuk mencapai tujuan menurunkan prevalensi stunting. Kita semua tahu stunting merupakan perawakan anak pendek yang biasanya terlihat pada saat anak berumur 2 tahun. Stunting merupakan masalah gizi yang kronis. Mengapa masalah gizi ini dikatakan masalah gizi kronis? Karena dalam mencapai masalahnya gizi stunting ini memerlukan kurun waktu yang cukup lama. Bisa terpicu sejak berasal dari ibu awal konsepsi sampai dengan anak berusia 2 tahun, barulah pada usia 2 tahun ini biasanya anak terlihat berperawakan pendek.
Sudah terecord jelas di dalam riset kesehatan dasar di Indonesia bahwa prevalensi stunting dari 2010 sampai 2020 Indonesia selalu masuk dalam interval tinggi sampai sangat tinggi menurut cut off WHO yaitu 20% — ≥ 30% [1]. Pada tahun 2007 sekitar 36,8% prevalensi anak di Indonesia pendek, lalu mengalami penurunan sedikit pada tahun 2010 menjadi 35,6% kemudian mengalami peningkatkan kembali pada tahun 2013 menjadi 37,2% lalu terakhir pada tahun 2018 perawakan anak pendek ini masih pada prevalensi 30,8%. Bahkan menurut data prevalensi yang dibuat oleh WHO, Indonesia merupakan negara ke-3 tertinggi yang memiliki prevalensi anak stunting di Regional Asia Tenggara [2]. Padahal stunting ini bukan merupakan masalah gizi atau penyakit yang bisa diobati dengan obat sehingga sembuh dari stunting, tidak seperti itu. Dari perjalanan yang panjang untuk sampai menjadi masalah gizi stunting ini seseorang bisa mendapatkan dampak berjangka panjang untuk masa depannya. Iya, segawat itu masalah gizi stunting. Kenapa? Karena dampaknya bisa sampai meningkatkan angka kemiskinan dan angka kesakitan di Indonesia. Dimulai dari gizi yang kurang cukup pada ibu hamil, lalu memberikan kondisi janin yang kurang baik untuk pertumbuhan neurologis janin kemudian lahir dengan kekurangan kemampuan dalam belajar yang dapat meningkatkan risiko drop out, dari sini dapat menurunkan produktivitas seseorang dalam bekerja sehingga pendapatan kurang dan berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ya, berakhir pada masalah kemiskinan [3] Tidak hanya itu, kondisi janin yang tidak baik itu juga akan memberikan dampak pertumbuhan organ yang tidak baik sehingga dapat memberikan dampak seseorang memiliki risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi dan penyakit jantung [4].
Indonesia sadar dengan masalah stunting yang terjadi di Indonesia, maka dari itu Indonesia merupakan salah satu negara dari 35 negara yang terlibat dalam SUN atau Scaling Up Nutrition Movement dimana programnya bernama Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) atau biasa kita kenal dengan Gerakan 1000 HPK [5]. 1000 HPK ini merupakan periode kritis dimulai dari 270 hari kehamilan sampai 730 awal anak lahir sampai anak berumur 2 tahun [6]. Intervensi yang terdapat pada Gerakan 1000 HPK ini ada 2, yaitu intervensi spesifik untuk jangka pendek dimana fokus pada sasaran tertentu seperti pada remaja putri, ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia dibawah 2 tahun. Intervensi sensitive, intervensi yang dilakukan untuk menanggulangi dalam jangka waktu yang panjang seperti intervensi yang berfokus pada intervensi PHBS, keluarga berencana, Pendidikan terkait kesehatan dan gizi dan lain-lain [7]. Negara dengan seluruh pemegangan kewenangannya sudah berusaha sekuat tenaga dari sejak lama sampai saat ini untuk mengurangi prevalensi stunting, lalu masih belum bisa menggapai cut off prevalensi aman dari WHO yaitu sekitar 2,5- 10%, nah kita sebagai kaum milenial bisa loh ikut berkontribusi membantu negara untuk mengurangi kejadian stunting pada anak, khususnya bagi para perempuan, dengan cara memiliki pola hidup sehat mulai sejak dini, cukupi asupan kita setiap harinya dengan beragam jenis makanan, mengonsumsi sayur dan buah dan melakukan olahraga untuk tetap mengontrol berat badan ideal, dengan itu, kita bisa menciptakan kondisi tubuh dengan status gizi baik sehingga pada saat waktu konsepsi dimulai kita bisa menciptakan kondisi yang baik bagi janin, maka dari kondisi janin yang baik calon bayi dan calon penerus bangsa bisa terhindari dari dampak negatif masalah gizi stunting.
Daftar Pustaka :
- Achadi E. 2015. Beban Ganda Malnutrisi Bagi Indonesia. The World Bank. https://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/04/23/the-double burden-of malnutrition-in-indonesia. Diakses pada 9 Januari 2020.
- BAPPENAS. 2013. Periode Emas Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan. Jakarta Pusat.
- Gustina E.2019.Gizi Seimbang, Prestasi Gemilang. WartaKesmas http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/fils/Warta Kesmas-Edisi-1–2019_1357.pdf. Jakarta. Diakses pada 9 Januari 2020.
- Kementrian Kesehatan Pusat Data dan Informasi.2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) Di Indonesia. Jakarta Selatan.
- Sumarmi S. 2017. Tinjauan Kritis Intervensi Multi Mikronutrien Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (A Review On Multi Micronutrients Intervention During The First 1000 Days Of Live). Departemen Gizi Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Vol. 40 (1): 17–28.
- Trisnawati, Y.,et al. 2016. Studi Deskriptif Pengetahuan dan Sikap Ibu Hamil Tentang Gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan Di Puskesmas Sokaraja Kabupaten Banyumas. Jurnal Kebidanan, Vol. VIII, №02. Purwokerto.
- WHO. 2021. Stunting, Wasting, Overweight and Underweight. https://apps.who.int/nutrition/landscape/help.aspx?menu=0&helpid=391&lang=EN. Diakses pada 12 Maret 2021.